Selamat Datang di BLOGnya Lekjo
Hot News Minggu Ini : Pemenang Festival Blog Rohani : Leo Agung Widiarto (Juara I), Clara Ayuk (Juara II), Cosmas Kusumadewa (Juara III) | Pemenang Festival Lagu Rohani : Lingk. Mojomulyo (Juara I), Lingkungan Krapyak (Juara II), Lingk. Ngrampal (Juara III) | Festival Olahraga dilaksanakan tanggal 15 November 2009, pendaftaran sebelum tanggal 13 November pada saudara David 085725268579 | Kunjungi Blog OMK Sragen di omksragen.blogdetik.com
Menyadari Perutusan Pengikut Kristus (Belajar Dari Kisah Paulus)


Berfirmanlah Allah : ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”
(Kejadian 1 : 26)

Kutipan bacaan di atas tentu sangat lazim kita dengar, sekurang-kurangnya sekali setahun pada saat perayaan paskah. Tetapi meskipun demikian, (mungkin) bacaan ini menjadi kurang bisa kita rasakan karena rutin kita dengar setiap tahunnya.
Ada hal yang bagi saya menarik, yaitu firman Allah : ”...... menurut gambar dan rupa Kita.....” Perlu kita temukan terlebih dahulu disposisi batin kita setelah membaca atau mendengar kutipan bacaan tersebut, karena ini menjadi awal untuk permenungan berikutnya. Rasa yang kemudian muncul bisa berupa perasaan gembira, bangga, syukur, karena mengetahui bahwa kita diciptakan serupa dengan Allah yang mempunyai kuasa atas segala makhluk lain di alam semesta ini. Atau mungkin perasaan sedih, malu, rendah, karena kita yang pada awalnya serupa dengan Allah, lantas menjadi pribadi yang sangat jauh dengan kehendakNya.


Pertobatan

Menyadari kondisi diri yang lemah dan rendah di hadapan Allah mutlak kita perlukan sebagai langkah awal pertobatan kita, karena hanya orang yang merasa dirinya sakitlah yang memerlukan tabib. Menyadari diri kita lemah di hadapan Allah, menunjukkan bahwa kita ”memerlukan” Allah dalam hidup kita.
Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. (Matius 5 : 3)
Inilah yang saya maksudkan di atas bahwa menemukan disposisi batin menjadi awal untuk permenungan berikutnya. Sudah barang tentu perasaan yang diharapkan adalah rasa syukur dan kagum akan kuasa dan cinta Allah yang sangat besar kepada kita, lantas merasa lemah karena kita belum bisa menjadi pribadi seperti yang Dia inginkan. Kutipan bacaan dari Mazmur 8 ini kiranya bisa semakin membantu kita menemukan perasaan tersebut :
”Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya. Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.”

Namun kiranya tidak lantas berhenti pada penyesalan dan merasa lemah di hadapan Allah, masih diperlukan adanya perubahan sikap. Inilah yang lantas saya sebut sebagai pertobatan.
Kalau kita sejenak menilik kisah St. Paulus, hal di atas sungguh dialaminya sebagai titik balik kehidupannya. Saulus yang adalah penganiaya jemaat, menjadi Paulus seorang pewarta Injil yang sangat hebat. Pertobatan Saulus diawali dari peristiwa di Damsyik, saat dia ”bertemu” dengan Allah (bdk. Kis. 9). Rasa penyesalan yang dialaminya bisa dialah yang pada akhirnya melahirkan sebuah perubahan sikap yang luar biasa. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus yang sangat terhormat dari silisilah dan ketaatannya terhadap hukum taurat, mengatakan bahwa segala sesuatu yang melekat padanya, yang dahulu merupakan keuntungan baginya, adalah sebuah kerugian dan sampah, setelah dia mengenal Kristus (bdk. Filipi 3 : 7 – 8). Dia berani melepas segala statusnya yang terhormat itu untuk lantas mengikuti Kristus.

Meditasi : Bertemu Kembali Dengan Allah
Saat hening menjadi sesuatu yang langka dewasa ini. Hal yang paling ditakuti kalangan remaja dan orang muda adalah kesepian. Kita bisa melihat dalam banyak kesempatan, banyak orang muda yang asyik dengan handphone, music player, atau sesuatu yang lain yang disediakan produsen untuk mengusir kesepian. Padahal, saat-saat sendiri seperti itulah kita bisa merenungkan pertemuan kita dengan Allah dalam peristiwa hidup kita selama sehari penuh. Kita sebenarnya juga mengalami ”bertemu” dengan Allah sebagaimana yang terjadi pada Paulus di Damsyik, tetapi kita tidak menyadarinya karena kita tidak pernah merenungkannya. Paulus pun membutuhkan waktu sendiri untuk akhirnya bisa mengambil sikap untuk berubah. Ingat, dia buta selama tiga hari, yang artinya menjadi kesempatan baginya untuk mempunyai waktu pribadi dengan Allah. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus menceritakan bahwa pada awal perubahan sikapnya, dia tidak minta pertimbangan kepada manusia tetapi kepada Allah, dia tidak pergi ke Yerusalem untuk menemuai para rasul tetapi ke padang gurun di tanah arab untuk ”bertemu kembali” dengan Allah (bdk. Galatia 1 : 15 – 17). Bahkan, Yesus yang adalah junjungan kita pun berpuasa 40 hari lamanya di padang gurun sebelum memulai karyaNya (bdk. Lukas 4 : 1 – 2). Mempunyai waktu sendiri bersama Allah, kiranya menjadi hal yang bisa kita biasakan agar kita bisa bertemu lagi dengan Allah, setelah proses pertemuan kita denganNya yang tidak kita sadari dalam setiap peristiwa hidup kita selama sehari penuh. Rasa syukur atas penyertaanNya, dalam hal-hal yang bagi kita kecil sekalipun, bila kita refleksikan akan menjadi kekuatan luar biasa untuk proses pertobatan dan perubahan diri kita.

Hakekat Pengikut Kristus
Dalam bagian terdahulu telah sedikit dibahas mengenai manusia yang diciptakan serupa dengan Allah. Itulah hakekat manusia pada awalnya. Serupa dengan Allah, demikian pula seharusnya diri kita sebagai manusia. Itu juga yang diperintahkanNya kepada kita, ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah smpurna”. (Matius 5 : 48)
Bagaimanakah caranya kalau kita ingin sempurna?
Ingat apa yang pernah dikatakan Yesus kepada seorang pemuda yang ingin mengikutiNya?
”Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah Aku.” (Matius 19 : 21)
Berat memang tuntutan yang diberikan kepada kita sebagai pengikut Kristus. Bukan sebuah pilihan, tetapi keharusan untuk mengikuti Dia, hakekat kita sebagai pengikut Kristus. Beranikah kita bersikap seperti Paulus yang menganggap segala status, kedudukan, jabatan, kekuasaan, harta yang telah dimilikinya adalah sebuah kerugian dan sampah, setelah dia mengenal Kristus.
Selain itu, sebagai pengikut Kristus kita juga dituntut menggarami dunia di sekitar kita. Sekali lagi ini bukan pilihan tetapi hakekat. FirmanNya bukan ”jadilah kamu garam”, tetapi ”kamu adalah garam”. Jadi jelas, bukan sebuah pilihan untuk menjadi garam, tetapi hakekat kita sebagai pengikut Kristus otomatis adalah garam yang harus benar-benar asin dan menggarami dunia di sekitar kita (bdk. Matius 5 : 13).
Artinya, selain menyadari panggilan kepada kesempurnaan, kita juga berusaha supaya orang lain melihat perbuatan kita yang baik kemudian memuliakan Allah di surga.

Perutusan Sebagai Umat Allah
Setelah berhasil menyadari kelemahan kita dan mempunyai semangat pertobatan, serta berhasil menemukan Allah dalam setiap peristiwa hidup kita, dan juga menyadari hakekat kita sebagai pengikut Kristus, pertanyaan yang bisa kita kemukakan adalah ”Sebenarnya apa sih yang harus kita lakukan sebagai pengikut Kristus?” Takutnya setelah mennyadari bahwa menjadi pengikut Kristus sangat berat, yang terjadi adalah sebaliknya, akhirnya kita ”nyopot” sebagai pengikut Kristus.
Dalam amanat perpisahanNya sebelum naik ke surga, Yesus berkata kepada para murid :
”Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16 : 15).
Ini juga yang kiranya disadari juga oleh Paulus sebagai perintah dan perutusan dirinya sebagai pengikut Kristus. Dia mengatakan bahwa memberitakan Injil adalah sebuah keharusan baginya.
”Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor. 9 : 16)
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, ”Lantas bagaimana caranya?” Apakah kita harus seperti Paulus yang pergi dari kota ke kota untuk memberitakan Injil?
Kita bisa mencari jawabannya sendiri-sendiri dengan cara apakah kita akan mewartakan Injil pada jaman ini. Tetapi baik apabila kita menemukan semangat dasar untuk melakukan itu semua, yaitu hendaklah kita mempersembahkan seluruh hidup kita, segala yang kita punyai untuk kemuliaan Allah. Bukan persembahan yang besar dari kelimpahan yang kita miliki, tetapi persembahan seorang janda miskin yang memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberikan seluruh nafkahnya (bdk. Lukas 21 1 – 4).
Apapun yang kita miliki saat ini, waktu, tenaga, pikiran, fasilitas, kemampuan, dan segala yang kita miliki, kita sadari sebagai anugerahNya, maka kita tidak sepantasnya untuk tidak memberikannya lagi kepadaNya melalui keterlibatan kita dalam aneka kegiatan yang semakin menampakkan wajah Allah di dunia ini.
Dan yang kedua, hendaknya kita tidak mudah puas akan apa yang telah kita lakukan untuk Allah. Karena tuntutan yang diberikan kepada kita adalah selalu bertolak ke tempat yang lebih dalam (Lukas 5 : 4).
Apa yang pernah disampaikan St. Paulus saat perpisahannya dengan jemaat di Efesus kiranya dapat senantiasa menyemangati kita.
”Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis. 20 : 24)

 
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.
0 Responses
Leave a Reply