Selamat Datang di BLOGnya Lekjo
Hot News Minggu Ini : Pemenang Festival Blog Rohani : Leo Agung Widiarto (Juara I), Clara Ayuk (Juara II), Cosmas Kusumadewa (Juara III) | Pemenang Festival Lagu Rohani : Lingk. Mojomulyo (Juara I), Lingkungan Krapyak (Juara II), Lingk. Ngrampal (Juara III) | Festival Olahraga dilaksanakan tanggal 15 November 2009, pendaftaran sebelum tanggal 13 November pada saudara David 085725268579 | Kunjungi Blog OMK Sragen di omksragen.blogdetik.com
Membentuk Keluarga Harmonis Dengan Komunikasi Yang Hangat

Harta yang paling berharga adalah keluarga…istana yang paling indah adalah keluarga puisi paling bermakana adalah keluarga
mutiara tiada tara adalah keluarga

Petikan lirik lagu di atas begitu indah, sampai-sampai di pakai dalam beberapa kesempatan penerimaan Sakramen Per­kawinan di Gereja. Tidak tahu persis apa yang mendasari penggunaan lagu tersebut. Apakah sebuah harapan untuk membentuk keluarga yang bahagia seperti yang digambarkan dalam sinetron ‘Keluarga Cemara’, dimana lagu tersebut menjadi theme song nya, atau hanya sekedar kesederhanaan dan keindahan lagu yang menyentuh hati setiap orang yang mendengarkan. Namun yang pasti, rencana Allah mengenai pernikahan dan keluarga yang terwujud dalam Sakramen Perkawinan, menyangkut pria maupun wanita dalam kenyataan konkret hidup mereka sehari-hari dalam situasi sosio-budaya yang khas. Maka Gereja wajib berusaha memahami berbagai situsi penghayatan pernikahan dan hidup berkeluarga zaman sekarang, untuk menunaikan tugas pengabdiannya. Begitu pula, keluarga-keluarga terlibat dalam situasi dunia masa kini, dan dipanggil untuk menerima situasi itu, serta menghayati rencana Allah yang menyangkut mereka.

Dalam rencana Allah, keluarga bukan hanya menemukan jatidirinya, (apakah keluarga itu sebenarnya), melainkan juga perutusannya, yakni apa yang dapat dan harus dijalankannya. Peranan, yang seturut panggilan Allah harus dijalankan oleh keluarga, dijabarkan dalam jatidiri keluarga. Setiap keluarga menemukan dalam dirinya suatu undangan, yang tidak dapat diabaikan, dan yang mengkonkretkan baik martabatnya maupun tanggungjawabnya: keluarga, jadilah sebgaimana harusnya. Selain itu, dalam rencana Allah pula, keluarga telah ditetapkan sebagai “persekutuan mesra kehidupan dan cinta kasih”, maka keluarga mengemban misi untuk menjaga, mengungkapakan, serta menyalurkan cinta kasih. Cinta kasih itu lah yang menjadi gambaran cinta kasih Allah terhadap umat manusia. Dan dengan bertolak pada cinta kasih, serta senantiasa merujuk kepadanya, ada empat hal yang menjadi tugas umum keluarga. Demikian ringkasan Amanat Apostolik Paus Yohanes Paulus II dalam “Familiaris Consortio”, 22 November 1981.
Empat tugas umum keluarga Katolik berdasarkan Familiaris Consortio.

1.Membentuk Persekutuan Pribadi-Pribadi
Persekutuan pribadi-pribadi yang dimaksud adalah persekutuan antara suami-isteri, orangtua-anak, dan sanak-saudara. Asas terdalam serta tujuan akhir dalam tugas ini adalah cintakasih.Tanpa cintakasih, keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi. Persekutuan yang pertama adalah suami-isteri, dan dari situ dapat dijabarkan antara anggota dalam satu keluarga, kaum kerabat, dan para anggota se-rumahtangga. Persekutuan suami-isteri itu berakar dalam sifat saling melengkapi secara alamiah antara pria dan wanita, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi untuk bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup, saling berbagi apa yang mereka miliki dan seluruh kenyataan mereka. Dengan demikian, orang menikah bukan untuk mencari kesenangan, melainkan untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling membahagiakan, dalam kasih Tuhan. Dengan landasan kasih Tuhan, suami-isteri dipanggil untuk saling membahagiakan, kemudian bersama-sama berusaha membagikan kebahagiaan untuk seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguh-sungguh menjadi gambaran dari Allah, yang sempurna.

2.Mengabdi Pada Kehidupan
Allah memanggil pria dan wanita untuk secara khusus berperanserta dalam cintakasih dan kekuasaan-Nya sebagai pencipta dan Bapa, melalui kerjasama secara bebas dan bertanggung jawab dalam menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi. Dengan kata lain, tugas asasi keluarga adalah mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta, yakni melalui prokreasi (pengadaan keturunan). Gereja mengecam segala bentuk sterilisasi dan penggungguran yang disengaja, karena bertentangan dengan hakekat kehidupan.
Terkait dengan tugas mengabdi kepada kehidupan, keluarga juga berperan dalam pendidikan yang berlandaskan cintakasih. Dalam rangka itu, kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Dalam bukunya yang berjudul “How to raise children for Christ” Andrew Murray menulis : “Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran kita, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita; tidak pada pengajaran yang ideal, melainkan pada hidup kita; tidak pada harapan atau teori, melainkan pada kemauan dan kehidupan nyata kita".
Keluarga dipanggil dan diutus menjadi tempat pendidikan yang utama dan pertama. Di sanalah anak-anak mulai dididik dalam segala hal yang baik. Pendidikan di rumah tidak pernah tersaing maupun tergantikan. Pendidikan di sekolah maupun di tempat-tempat lain hanyalah bersifat melengkapi dan melanjutkan pendidikan di rumah dan keluarga tersebut. Setiap keluarga katolik juga dipanggil dan diutus menjadi tempat pembenihan panggilan. Artinya: menjadi tempat bertumbuhnya iman, sedemikian rupa sehingga anak katolik yang diasuh dan dididik dalam keluarga tersebut mampu menyadari panggilan Tuhan atas dirinya. Dalam dokumen yang berjudul “Catechesi Tradendae“ (artikel 68) ditegaskan bahwa sejak usia dini para anggota keluarga perlu saling membantu agar bertumbuh dalam iman. Kebiasaan berdoa dan membaca firman Allah bersama menjadi salah satu upaya menjadikan keluarga sebagai tempat bertumbuhnya iman, dan menjadikan orangtua sebagai orangtua yang sepenuhnya, yang bukan hanya menumbuhkan kehidupan jasmani melainkan kehidupan rohani yang bersumber pada salib dan kebangkitan
Keluarga juga harus menjadi oase bagi anak-anak. Bila anak menemukan hangatnya kemesraan dalam keluarga, mereka juga mengalami kebapaan Allah yang penuh kasih. Pengaruh suasana rumah terhadap anak sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Suasana memang dapat terjadi karena kebetulan saja. Namun, mengingat pengaruhnya yang besar dalam perkembangan iman anak, suasana di rumah sebaiknya tidak terjadi karena kebetulan, melainkan karena diupayakan atau “direkayasa” (dalam arti positif) sedemikan rupa sehingga ia memungkinkan perkembangan iman. Suasana seperti itu dapat diciptakan antara lain dengan: sikap dan perilaku semua anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan keakraban; acara dan irama hidup yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan semua anggota keluarga dan sekaligus memung­kinkan terciptanya selingan yang menyegarkan; ruang-ruang rumah dan kebun yang ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang manusiawi dan kristiani; dan tersedianya fasilitas yang memadai, terutama bagi anak.

3. Ikut Serta Dalam Pengembangan Masyarakat
Sebagai sebuah sel dari masyarakat luas, keluarga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat luas, antara lain oleh kondisi budayanya. Baik unsur-unsur budaya tradisional maupun unsur-unsur budaya modern yang bersifat global punya pengaruh pada keluarga. Pengaruh itu bisa positif, bisa juga negatif. Sebaliknya, keluarga diharap berusaha untuk ikut mempengaruhi masyarakat luas. Keluarga Katolik diharap menjadi “garam yang mengasini” dan “pelita yang menerangi” masyarakat sekitarnya. Memang, pengaruh itu barangkali tidak kuat. Meskipun demikian, pengaruh tersebut tetap punya makna positif bagi masyarakat luas.
Setiap keluarga katolik dipanggil dan diutus menjadi sebuah komunitas mistik. Artinya : menjadi komunitas yang akrab dengan Allah, juga ketika masyarakat di sekitarnya sangat jauh dariNya. Dalam kondisi masyarakat yang “rusak”, keluarga menjadi sumber kekuatan yang mengangkat manusia dari keadaan “tidak bernama”. Dengan cintakasih, perwujudan keadilan, perjumpaan dan dialog, serta sikap saling menghormati dalam keluarga, keluarga menjadi tempat paling efektif untuk “memanusiakan” dan “mempribadikan” masyarakat. Selain itu, keluarga katolik juga mempunyai tanggungjawab dan rahmat untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah.

3.Berperanserta Dalam Kehidupan dan Misi Gereja
Melalui sakramen perkawinan, keluarga tidak hanya menerima cintakasih Kristus, tetapi juga diharapkan dapat menyalurkan cintakasih. Olah karena itu makin sering dikatakan, bahwa keluarga katolik dipanggil untuk menjadi Gereja kecil, atau Gereja rumah tangga (ecclesia domestica). Pada dasarnya, yang dimaksud dengan Gereja atau ecclesia adalah paguyuban umat beriman. Maka, sebuah keluarga katolik hanya layak disebut sebagai sebuah Gereja kecil bila anggota-anggota keluarga tersebut sungguh-sungguh guyub (rukun, bersatu, dan akrab) dan sekaligus beriman, dengan menghormati dan mengasihi Allah. Kelompok semacam itu lebih merupakan sebuah communitas yang ditandai oleh kesatuan batin yang didasarkan pada unsur-unsur psikis atau religius daripada sebuah societas yang ditandai oleh kesatuan lahiriah yang didasarkan pada unsur-unsur yuridis atau sosiologis.
Keluarga katolik tidak dapat dan tidak boleh peduli pada kepentingannya sendiri saja. Ia bukanlah sebuah Gereja kecil yang terpisah dari Gereja-Gereja kecil yang lain. Ia merupakan sebuah sel dari Gereja yang lebih luas, yakni Gereja lingkungan, Gereja wilayah, Gereja paroki, Gereja keuskupan. Sebagai Gereja kecil, keluarga katolik dibangun dan membangun Gereja setempat. Mereka diharap ikut terlibat dalam kehidupan beriman umat setempat, baik di tingkat lingkungan, wilayah, paroki, maupun keuskupan. Sebaliknya, umat lingkungan, wilayah, paroki, maupun keuskupan diharap mempunyai kepedulian pada keluarga-keluarga yang ada di dalam batas-batas teritorial-nya

Kondisi Yang Terjadi Saat Ini

(Anak) : Mama…mama…adek nggak mau sekolah lagi…pokoknya nggak mau…sekolah itu nggak enak soalnya ada si Dono yang badannya besar dan suka gangguin adek…adek takut, Ma…adek nggak mau ketemu Dono….(sambil menangis)

(Mama): (mamanya sambil matanya lekat ke sinetron yang sedang seru-serunya) Mmmm…Oooo…Aahh nggak apa-apa, kan…biasa itu…masa’ begitu saja takut…pokoknya besok sekolah seperti biasa…ya! anggap saja tidak ada apa-apa….ya sudah, sana..! lagi seru niiih..wah, jadi kelewat deh ceritanya…! kamu sih…!

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, ter­masuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarga­nya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Padahal komunikasi merupakan cara satu-satunya untuk mengenal pribadi yang lain; komunikasi membuat per­bedaan antara hidup bersama sebagai dua orang asing dan hidup bersama sebagai dua orang yang saling mengasihi. Ketidakbisaan untuk berkomunikasi dalam keluarga juga terjadi ketika masing-masing anggota keluarga tidak tahu bagaimana mereka harus mem­bagikan perasaan mereka dengan anggota keluarga lainnya, ketika tidak tercipta suasana yang akrab dalam keluarga, dan ketika aturan (komitmen) dalam keluarga yang cenderung kaku dan bahkan “tidak katolik”. Contoh komitmen tersebut adalah: urusan keluarga adalah urusane cah gedhe, sopo sing gawe isin keluarga kudu lungo, dan masih banyak contoh lain yang bahkan sampai mengikat kebebasan anak, seperti ungkapan “orangtua yang paling tahu urusan anak, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, dan pernikahan (jodoh)”.
Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, serta komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, membuat hubungan dalam keluarga semakin berjarak dan semu. Dalam kondisi seperti ini, alih-alih mampu menjadi eclesia domestica yang menggarami dan menerangi, keluarga bahkan akan larut dalam kondisi masyarakat yang terpengaruh “budaya pop” sebagai dampak globalisasi yang cenderung negatif, yakni kecenderungan liberalistik, kapitalistik, bahkan sekularistik yang membuat banyak orang makin jauh dari Allah. Kecenderungan tersebut dapat mempersulit keluarga-keluarga katolik dalam usaha mereka untuk menghayati iman kristiani mereka. Keluarga yang semestinya menjadi komunitas kasih, kalau tidak disiapkan dan dibina dengan bersungguh-sungguh, tekun dan setia, dapat menjadi tempat yang tidak mem­buat kerasan. Inilah biasanya yang merupakan awal dari berbagai macam kesulitan, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, makin menipisnya suasana religius dalam keluarga, seringnya terjadi per­selingkuhan, perceraian, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam keluarga.
Dalam hal pendidikan anak, tidak sedikitlah kiranya orang tua yang hanya mampu memberikan pendidikan jasmani dan intelektual kepada anak-anak. Mereka tidak mampu memberikan pendidikan rohani maupun moral dan sosial kepada anak-anak mereka sendiri. Salah satu yang barangkali mendorong mereka berbuat demikian ialah terlalu besarnya kepercayaan mereka kepada para guru di sekolah dan kepada para pemimpin/pengurus Gereja di paroki. Mereka mengira, anak-anak mereka akan menjadi baik asal saja anak-anak itu belajar di sekolah katolik dan cukup aktif di lingkungan katolik, entah di tingkat wilayah, entah di tingkat paroki. Masing-masing anak mempunyai semacam “tangki cinta”. Bila tangki itu terisi penuh, hidup anak itu berjalan aman dan lancar. Sebaliknya, bila tangki itu kosong, ia cenderung bersikap nakal dan memberontak. Tangki itu hanya dapat diisi oleh orang lain, tidak dapat diisinya sendiri. Maka, orangtua-lah yang pertama-tama harus mengisinya.
Apabila dicermati secara mendalam, akar dari semua yang terjadi sebagaiman tersebut di atas adalah ketika masing-masing pribadi mulai menghayati kepribadiannya dan TIDAK MELUANGKAN TEMPAT BAGI ALLAH. Sehingga pada tahun 1965, dalam dokumennya yang berjudul “Gaudium et Spes”, konsili Vatikan II menegaskan kembali bahwa melalui sakramen perkawinan, Kristus sendiri hadir untuk “menemui” suami-istri kristen, dan memberikan rahmat ilahi kepada mereka. Dengan bantuan rahmat ilahi itulah suami dan istri kristen mampu menghayati perkawinan mereka dengan setia. Tanpa bantuan ilahi, mereka itu lebih mudah dicerai-beraikan.



Baca Semua...